Duo Denum

Duo Denum

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Kampung Langai badminton 1

aktivitas baru yang menjadi hobyy menyenangkan akhir akhir ini

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Ritchie Kotzen ooh

entah sudah berapa lama saya kenal nama ini ... awal saya mengetahui performanya adalah melalui sebuah video ketika saya masih kelas 2 SMU kira kira ... dia bikin sejenis lesson video dengan mauver dan teknik yang memukau ... sontak sejak saat itu mungkin hingga detik ini tehnik tehnik yang dia peragakan banyak saya adaptasi untuk keperluan penampilan saya baik di atas panggung di recording studio hingga dimanapun saya menyajikan penampilan .... intinya meski tak banyak audiense yang bisa paham dengan apa yang saya sajikan tetapi saya melihat dalam manuver saya yang banyak influence dari Kotzen ini saya melihat diri saya sesungguhnya ... mengenai apa dan siapa saya dan bagaimana saya beradaptasi dengan diri saya sendiri ./... tidak seperti cara cara musisi lainnya membawakan emosi mereka ... kotzen cenderung menyajikan apa yang di telinga saya dicap sebagai hal yang ultra elegan ... hal yang mudah saja memfascinasi orang lain dan tentu saja diri saya sendiri ... sepertinya saya telah menemukan jiwa permainan yang sesungguhnya tanpa meninggalkan platform awal dimana saya berangkat dalam fase fase ... bahwa sejatinya musik adalah cahaya yang menerangi benak ... benak dalam mencari apapun

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Fase Tiga Hari Ini Cukup

Objection (penolakan)
Pertanyaan mengenai penolakan dalam masyarakat Eropa sebagaimana dibedakan dari masyarakat Afrika mengemukakan permasalahan tentang penolakan tersebut misalnya penggunaan bunga. Sama halnya dengan gambar, lukisan dan teater, yang menjadi bagian dari kritik Plato terhadap pemaknaan kebudayaan. Kritik tersebut merupakan poin referensi untuk tradisi turun temurun dari sudut pandang alternatif tentang manifestasi dimana pengamat kontemporer menemui kesulitan dalam memahami pentingnya pengamat kalangan masyarakat lain gagal dalam memahaminya. Plato prihatin terhadap mimesis dimana sebagai dampaknya Plato menyanggah bahwa hal tersebut bukanlah perihal itu sendiri maupun yang dimaknainya. Bagaimana bisa? Yang saya coba kemukakan adalah bahwa situasi manusia itu sendiri adalah tergantung dari pemaknaan dan hal ini, baik secara linguistik, figuratif maupun teoretik tidak akan bisa menjadi apa yang pada dasarnya diartikan.
Mimesis merupakan sebuah konsep yang tidak tercakup dengan maksimal terutama oleh penulis penulis post-modern karena dihubung hubungkan, secara mekanis, terhadap reproduksi budaya, ‘meniru’ dalam pandangan Tarde dan terutama pada repetisi bahasa atau pada gambar. Oleh karena mimesis mewujudkan sebuah ideologi konservatif, menolak kreativitas. Plato, di sisi lain, melihat mimesis sebagai tatanan subversif, misalnya ketika orang meniru perilaku orang lain terutama aktor atau pemimpin. Aspek prinsip dari mimesis yang menarik perhatian say disini adalah pemaknaan dalam seni di dunia luar, terhadap eksistensinya sendiri, polemik ikonofobia, dalam prasangka anti-teatrikal atau oleh sikap anti-novelistik. Dalam konteks ini, sesuatu berganti melalui sebuah perantara berbeda, oleh karena itu kreativitas selalu dilibatkan. Seperti mimesis, ide utama pemaknaan mendapatkan sedikit perhatian dari Barthes sebagai sebuah instrumen penaklukan dalam tatanan simbol simbol, sebuah pandangan yang patut diacungi jempol mengenai bagaimana tatanan simbolis tersusun.
Kritik ini berhubungan dengan apa yang oleh Prendergast sebut dengan status pemaknaan yang tidak pasti, sebuah keadaan dimana secara permanen yang kita huni berhubungan dengan tatanan mimetik. Ada masalah umum mengenai mimesis. Beberapa orang suka ditiru, kecuali pada keadaan pembelajaran yang sangat spesifik. Namun imitasi tetaplah penting bagi pembelajaran; jika bukan sebuah aktivitas manusia secara esklusif, setidaknya yang terbatas pada antropoid, tidak ditemukan pada monyet. Tetapi secara lebih relevan, mimesis merupakan sebuah bentuk pemaknaan; ia bukanlah tindakan itu sendiri. Dari sudut pandang lain mungkin dilihat sebagai ketidaklaziman.
Dalam diskusi ini mimesis cenderung disamakan denga pemaknaan. Namun tendensi tersebut mungkin dapat dilihat sebagai pembeda yang penting. Dari satu sisi mimesis berhubungan dengan ‘mime’ yang oleh bangsa Roma dan Yunani diartikan sebagai drama yang lucu, dikarakterkan oleh mimikri dan pemaknaan konyol dari jenis jenis yang familiar. Definisi definisi tersebut menunjukkan bahwa ada bentuk yang masuk akal dari pemaknaan dan mime juga dilihat sebagai seni gestur, gerakan, dan lainnya sebagaimana yang membedakannya dengan kata-kata. Mimesis terkadang juga dipandang sebagai peniruan perilaku orang lain; oleh karena itu gestur maupun cara bicara, namun tidak pada penulisan, disebut mimetik. Penulisan menempati ‘urutan ketiga’, dimana cara bicara dan gesture pada dasarnya sama, tidak tercampuri. Akan tetapi dari sudut pandang lain, lisan maupun tertulis, mungkin terkesampingkan dari mimesis karena jarang ditiru; kecuali onomatopoeia, ia merupakan tanda. Pastinya, bahasa tertulis meniru alam hanya dengan cara tidak langsung, dimana gstur, patung, bahkan meniru suara seseorang dilakukan dengan cara langsung. Kata kata dapat mewakili lebih baik ketimbang mimik.
Keraguan yang sama mengenai status pemaknaan muncul dalam filosofi ilmiah. Dalam mendiskusikan realisme dan anti-realisme Ian Hacking mengatakan;
Dengan memperhatikan pengetahuan sebagai pemaknaan alam, kita tak tau bagaimana kita bisa keluar dari pemaknaan dan memahami dunia. Hal tersebut tertanam dalam idealisme. Di abad kita John Dewey secara berapi api mengenai teori pengetahuan yang mengobsesi filosofi barat. Jika kita Cuma penonton dalam teater kehidupan, bagaimana kita bisa tau yang nyata atau yang tidak nyata, yang hanya diperankan oleh aktor maupun hal yang nyata?
Dalam hal ini sikap Hacking terhadap pemaknaan adalah sangat jelas. Teori hanya memaknai belaka, ia bukanlah hal yang nyata. Dalam tingkatan lain, apa yang dimaknakan dalam sandiwara ada di dunia nyata. Akan tetapi ia betul betul memaknai hal yang sebenarnya yang kemudian mengemukakan polemik kebenaran, yang salah ataupun distorsi dari hal yang sebenarnya, polemik yang tidak hanya melibatkan hubungan teori kebenaran.
Pemaknaan yang jelas merupakan hal penting dalam komunikasi manusia. Oleh karenanya Hacking mencoba mengkarakterkan manusia bukan sebagai homo faber melainkan homo depictor. “manusia adalah pemberi makna, orang orang menyukai segala sesuatu, mereka membuat lukisan, meniru ayam berkotek, mencetak dari tanah liat, memahat patung, dan menempa kuningan. Pemaknaan bukanlah ide internal dari kekaisaran Perancis maupun Inggris, sebagaimana yang dipikirkan Kant dalam Vorstellung. Namun memang sebagaimana diterangkan di atas, Hacking merujuk kepada objek fisik bahwa dia membayangkan orang orang menyukai segala sesuatu sebelum mereka belajar berbicara. Memang tidak banyak bukti yang memperkuat statemen tersebut kecuali bahwa adalah mungkin bila seekor anjing, misalnya, memaknai sesuatu dalam mimpi, barangkali melakukannya secara visual. Manusia awal peradaban menggunakan linguistik di waktu bersamaan dalam pemaknaan gambar. Namun bahasa tentu saja jauh memperluas kemampuan kita akan pemaknaan, contohnya Hacking melihat teori fisik sebagai penyusunan yang kebenarannya belum mutlak melainkan rentetan pemaknaan instruktif. Pluralitas pemaknaan membawa skeptisme, keraguan dan berhubungan dengan penampilan dan realitas.
Skeptisme yang serius, menurut Hacking adalah pemaknaan tak terelakkan seandainya atom atom dan ruang kosong meliputi kenyataan, bagaimana kita bisa tahu? Inti keraguan selalu muncul bahkan semenjak Democritus memformulasi atom sebagaimana yang dicatat oleh Plato. Pertama, bagaimana kita menelisik versi tertentu dari impian Demokritus? Kedua, adanya kekhawatiran bahwa yang demikian hanyalah angan-angan; bahwa sejatinya tidak ada atom, tidak ada ruang kosong, hanyalah bebatuan. Ketiga, adanya keraguan bahwa kisahnya tidak sepenuhnya benar, bagaimana kita bisa menentukan pengetahuanmelainkan hanya kelalaian kontemplatif.
Hacking bertolak belakang dengan pernyataan pernyataan yang kita sebut dengan yang tidak bermakna ini, misalnya seperti ‘mesin ketik saya berada di atas meja’. Dalam hal tersebut kita bisa mengatakan benar atau salah, dimana pemaknaan melibatkan keraguan. Namun pernyataan seperti di atas tersebut adalah juga melibatkan pemaknaan (kata ‘mesin ketik’ mewakili sebuah mesin); ketika skeptisme dan keraguan terhadap hal yang sama tidak dilibatkan, hal tersebut juga dapat menjadi pertanyaan mengenai pemaknaan linguistik dan mengenai realitas kata. Saya sependapat bahwa hal ini adalah merupakan tatanan yang berbeda dan juga sangatlah penting dimana saya memulainya dengan mempertimbangkan pemaknaan piktorial (yaitu figuratif) dan sebagian besar yang dibahas melibatkan dimensi visual. Akan tetapi saya juga membahas mengenai satu aspek pemaknaan linguistik dalam mendiskusikan mitos dan novel.
Pemaknaan figuratif merupakan yang pada dasarnya oleh C.S. Pierce bedakan dalam tiga macam pemaknaan; yang merupakan kausal atau metonimik (bagian dari keseluruhan) dan konvensional (contohnya linguistik). Namu perbedaan demikian tidak membingungkan kita terhadap persamaan dan kenyataan bahwa aktor itu sendiri bisa jadi berubah dari mengobjeksi atau memerankan sesuatu untuk memperlakukan yang lain dengan cara yang sama. Sementara Judaisme tidak melarang penggambaran figuratif dari dewa dewa, kemudian beberapa orang berpendapat bahwa hal yang paling bernilai seni dari menafsirkan gambaran antromorfik secara literatur adalah merupakan pemujaan berhala itu sendiri. Tidak dijelaskan secara rinci dalam Injil apakah Tuhan memiliki gambaran, melalui kritikan Maimonides yang menolak kemungkinannya. Yang jelas bahwa segala upaya yang mencoba menghadirkan pemaknaan figuratif atas gambaran verbal adalah dilarang. Hal tersebut dapat mengakibatkan hilangnya keunikan; larangan tersebut tidak didasarkan pada ketakutan akan substitusi (mengambil pemaknaan untuk yang dimaknakan) melainkan hal tersebut bisa saja mengakibatkan pemaknaan yang keliru.
Dalam penyelidikan ini saya tertarik terhadap jenis jenis pemaknaan tertentu, yaitu, ikon figuratif, performa dramatis dan pusaka. Pada akhirnya saya memperluas diskusi pada mitos, narasi (dalam sense fiksi). Saya menggunakan istilah istilah dalam bahasa yang sederhana sebagaimana pemaknaan fisik baik dalam objek, atau tindakan. Pemaknaan konsep atau ide, Platonik atau yang lainnya merupakan batasan dari tema yang saya kemukakan.
Contoh mula dari dilema tersebut datang dari dunia klasik. Penulisan mengenai pengaruh seni pada religi di dunia klasik, Lane Fox tertarik melihat dalam era pahlawan epik, patung patung dan lukisan lukisan merupakan pengaruh fundamental dimana dalam dunia ketuhanan dibayangkan. Hal tersebut juga pasti menghadirkan keraguan, pertanyaan pertanyaan dan kontroversi seperti halnya yang kita temui dalam karya Plato. Jika kamu menggambarkan malaikat, hampir tak terelakkan bahwa orang lain akan terdorong untuk memberikan pertimbangan lain terhadap pemaknaan ini, mungkin lewat kritik, mungkin secara materi, mendorong mereka merefleksikan dalam ruang fisik yang ditempatinya dan berapa banyak “malaikat sesungguhnya” muncul dalam benak. Sebagaimana Lane Fox tuliskan bahwa ada hal konkrit dalam gesekan antara hal tersebut dengan ketidakjelasan, ketidakstabilan dari objek yang digambarkan, image verbal tanpa ikon.

Ada masalah khusus dalam banyak kelompok atau masyarakat dalam memaknai gambaran Ilahi karena bagaimanapun juga ia merupakan status immaterial; kualitasnya memperbesar kemungkinan terhadap pengamatan akan perbedaan antara kehadiran dan ketiadaan, antara gambaran atau perkataan dan rujukan. Dalam banyak masyarakat permasalahannya menjadi akut bahwa Tuhan yang menciptakan semua hal dan Tuhan tidak diciptakan. Sementara dalam banyak kasus keengganan untuk memaknai Sang Pencipta yang dalam benak mereka menumpuk segudang keraguan mengenai proses pemaknaannya secara keseluruhan, sekuler dan religius yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan.

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Fase Dua

Absence (ketiadaan)
Saya ingin menerangkan tema ini dengan bagaimana awalnya saya menjadi tertarik terhadap ketiadaan pemaknaan figuratif. Antropologis Meyer Fortes menjelaskan mengenai Tallemsi dari Ghana Utara. Seseorang bisa menyanggahnya mengenai penggunaan terma “seni”. Ia kemungkinan merupakan konsep dari Eropa atau Eurasia yang kita pahami dalam konteks sekolah seni maupun museum seni. Tallensi membuat penilaian termasuk mereka yang kita sebut estetis dalam hubungannya terhadap objek. Jika kita pergi ke museum etnografik, Afrika sering didominasi oleh topeng Liberia yang menakjubkan, patung Dan, perunggu raksasa Benin atau terakota dari Nok. Hampir semua karya tersebut merupakan figuratif, terkadang merepresentasikan binatang, terkadang pula manusia maupun makhluk antromorfik. Dibandingkan dengan karya karya tersebut, Tallensi belum ada apa apanya secara virtual. Merupakan benar adanya beberapa jenis pemaknaan artistik lainnya; mereka tidak punya teater, seperti LoDagaa dan yang tinggal di sekitarnya. Namun LoDagaa mempunyai beberapa patung figuratif dari kayu. Sebuah perbedaan didapat dari distribusi mitos ketimbang mitologi.
Saya mencoba menjelaskan keadaan maupun ketiadaan sebagaimana kilas balik saya mengenai studi tentang penggunaan bunga di bagian dunia berbeda. Dari situlah saya menemukan alasan evolusioner mengapa tidak ada bunga domestik di Afrika. Bunga hanya ter-domestik-kan hanya dalam masyarakat yang memiliki era, yakni apa yang oleh ahli prehistoris Gordon Childe sebut dengan “Revolusi Urban” yang menciptakan agrikultur, sistem penulisan dan bermacam macam kerajinan.
Ketika proses evolusi ini membuka kemungkinan kemungkinan bukan berarti mereka dieksploitasi. Dalam era klasik Eropa Selatan memiliki budaya bunga yang kuat namun ditentang secara dramatis di masa awal Kristen. Disini kami memiliki bukti tidak hanya perbedaan antara budaya dalam ruang namun juga dalam suatu masyarakat pada waktu yang berbeda. Di Eropa, penolakan yang demikian itu dikaitkan dengan invasi barbarian (Celtic dan lainnya) dan diasosiasikan dengan kejatuhan ekonomi. Namun penolakan dalam penggunaan bunga dan item lain dianggap hal yang mengindikasikan kemewahan, hal yang berkaitan dengan kekuatan asing, yang dikehendaki aktornya yang memegang posisi hegemonik. Banyak pemuka agama Kristen mengutuk penggunaan bunga terutama pada bentuk mahkota pada bunga. Alasannya, pertama adalah mereka biasanya menggunakannya pada upacara pengorbanan Pagan. Yang kedua, mereka percaya bahwa Tuhan tidak membutuhkan pemberian. Ketiga, hal hal tersebut merupakan bagian dari budaya kemewahan, budaya konsumerism awal, penekanan status, hirarki dan hal yang tidak diperlukan, dalam kata lain mereka menyebutnya Puritan.
Selama berabad abad hal tersebut telah diubah dalam Kristen Eropa. Butuh waktu yang cukup lama untuk budaya penggunaan bunga agar berkembang dalam maraknya penolakan penolakan tersebut pada abad ke-16 dan ke-17 lebih khususnya pada Puritan. Dalam kata lain, penggunaan bunga ditentang oleh beberapa kalangan masyarakat dalam periode tertentu dalam sejarah mereka.
Menyikapi perbedaan spasial tersebut saya mengatakan sebagaimana Levi-Strauss nyatakan hal yang sama terhadap jamur bahwa beberapa budaya adalah floripobia dan beberapa diantaranya florifil. Namun implikasi yang tak terelakkan seperti karakteristik menjadikan fungsi ini jauh terkubur dalam mentalitas masyarakat tertentu dimana terkadang mereka menjadi florifil dan fungifobia di waktu yang bersamaan. Untuk menganggap fungsi tersebut sebagai bagian dari perilaku manusia yang quasi-permanen, struktur dasar tidak begitu berperan dalam aspek historis kebudayaan. Implikasinya merupaka quasi-genetic. Namun penggunaan bunga tidak terlalu mengakar pada gen kebudayaan, sekalipun fungsi tersebut muncul secara persisten dari masa ke masa.

Maka pertanyaan mendasarnya berubah dari waktu ke waktu mengapa masyarakat atau ritual berubah dari wujud budaya kuat menjadi lemah, penolakan apakah yang menjadi sentral terhadap eksistensi keseluruhan mereka? Contoh yang paling mengejutkan adalah yang terjadi di Eropa dan Yunani yang mendasari banyak kebudayaan dan tradisi intelektual. Adalah abbad kedelapan BCE (Before Common Era) yang melihat awal mula ekspansi Yunani, berkembangnya kota, majunya teknologi penulisan yang kita pahami sebagai yunani Klasik. Yang menjadi penting adalah tidak hanya kualitas melainkan juga kuantitas melalui bahasa tertulis. Khususnya lagi, Yunani dikenang dalam drama yang masih dipentaskan di barat setelah 2500 tahun, terkadang dalam bahasa aslinya, dan lebih banyak lagi dalam bahasa terjemahan. Yunani juga dikenang untuk gaya arsitekturnya yang turut membentuk barat pada gaya arsitektur bank-bank dan perkantoran-perkantoran untuk kuil kuil dan istana. Dan lagi, pada seni patungnya banyak yang menjadi bagian dari ruang sosial yang bertujuan menanamkan ekspresi budaya dalam superfasilitas. 

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Job Jaya

REPRESENTATION AND COGNITIVE CONTRADICTION

Saya tertarik terhadap resistansi atau ketiadaan pemaknaan, gambar, teater, benda purbakala, mitos, novel dan pemaknaan seks. Hal ini seperti pilihan acak dari keseluruhan kemungkinan beserta pada nuansanya. Namun ini termasuk beberapa sentral artistik dan bentuk bentuk religius dari pemaknaan (ikon, teater, novel) yang hadir dalam masyarakat tertentu dan tidak terdapat di masyarakat lainnya yang mendatangkan tanda tanya kepada saya tentang pemaknaan yang sangat alamiah. Saya tidak bermaksud untuk melingkupi keseluruhan pemaknaan dimana ambivalensi bisa timbul namun hal ini menggelitik rasa penasaran saya mengenai perlunya penjelasan secara umum. Saya sengaja mengesampingkan ranah tertentu mengenai penolakan, penekanan atau ketiadaan aktivitas aktivitas ini dalam masyarakat manapun dengan sebuah tanda tanya besar mengenai fitur yang telah menyebarluas ini menerangkan mengenai alam pemaknaan yang merupakan fitur sentral dalam hidup manusia. Apakah yang kita bicarakan ketika membahas tentang “representation”? pemaknaan adalah merupakan hal yang mendasar dalam komunikasi manusia untuk budaya manusia. Durkheim menyatakan bahwa pemaknaan kolektif merupakan perhatian utama dari para sosiologis dan antropologis. Seni adalah representatif demikian juga bahasa, misalnya pada kata “horse” untuk hewan kuda. Dia juga bisa berarti mimetik sebagaimana ‘pitter-patter’ meniru rintik hujan. Saya sangat peduli mengenai kategori pemaknaan artistik gambar, dalam lukisan dan patung, dan juga pada teater sebagaimana pembahasan yang lebih menyeluruh mengenai penyembahan berhala (yang mewakili figur seseorang) dan pemaknaan fiksi. Letertarikan saya akan fenomena fenomena ini terdapat pada dua aspek utama. Pertama, ketimpangan distribusinya dalam masyarakat pada waktu yang berbeda namun dalam masyarakat yang sama. Yang kedua, keberatan yang muncul baik perseorangan maupun khalayak umum. Saya berharap kedua aspek utama ini mengindikasikan hal yang memiliki inter-relasi.

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Jumat itu apa?

eh hari ini hari jumat ... hari baru datang lagi ,,, menjemukan seperti yang kemarin kemarin ... memang sudah semestinya ... pagi hari dibakar dengan rock and roll dan makanan setengah basi yang bikin muak .... lha kiprahnya disini seperti ap? sementara job translate masih menumpuk berpuluh puluh lembar menanti digarap diselesaikan ... di sisi lain isi kepala sudah mau tumpah rasanya mau meledak meletus seperti gunung berapi yang sedang marah berkecamuk .... dan hari ini hari jumat hari yang kata orang orang hari barokah ... goblok tuh orang orang ... kalian pikir hari itu cuma jumat? kalian pikir setiap hari itu bukan anugerah yang barokah??? ah ... lama lama diracuni rasisme ...

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Ya Sudah

Semua orang kan berhak bahagia? Ya yang begitu itu ya sudah, ngga apa apa. Toh kita punya kisah apa? Cuma semalam seranjang kan ? Giliranmu bahagia aku punya ruang melarang apa? Toh sebaik apapun kita, aku tetap harus memberi ruang untuk hidupmu kan ??

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Menggembirakan

sejenak mulai menggunakan isi kepala untuk berpikir mempertimbangkan banyak hal mengenai pilihan pilihan dalam hidup tentang apa yang sudah dan apa yang belum terlaksana. menelisik timeline kehidupan lagi lewat lorong lorong waktu imajiner belajar dari pengalaman pengalaman lama mengenai kehidupan yang sungguh berharga dan terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja. hidup ini mudah dan sebentar saja, benak kita saja yang membuatnya terlihat seolah rumit, mata kita dijejali dengan pemandangan pemandangan  tidak cukup adil rasanya hidup di tengah perbandingan, kemauan orang orang untuk membanding bandingkan hal hal yang belum mereka ketahui sejatinya. bagaimanapun juga kita tetap harus sadar bahwa hidup itu tetaplah hidup. dan bagaimanapun dijalaninya hidup tetap akan selalu punya tujuan dengan upaya upaya. kita tak sekalipun mudah menyerah dengan keinginan walaupun memang banyak diantara kita yang masih dibutakan ambisi ambisi. lihatlah betapa hidup sederhana adalah cukup ideal dan menggembirakan. apa lah artinya pencapaian tanpa keadaan yang menggembirakan???

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More

Mengaktifan Kembali

setelah sekian lamanya tidak lagi pernah berkutat dengan tulisan rasanya rindu untuk kembali menorehkan sepatah dua patah kata di blog kecil yang tak seorangpun tau ini. sekian lama rindu aktivitas menulis kembali aku bangkitkan lagi hobby tak berbayar dngan mengeksplorasi kemerdekaan kata kata baik yang imajinatif maupun yang masih abstrak di awang awang. ingin menjadi manusia seutuhnya yang sesempurna mungkin dengan kemerdekaan berkata kata dan menuliskan apapun yang aku suka. dalam petang yang pengap dan penuh nyamuk ini mencoba kembali aku hidupkan lagi luwesnya gimmik kata kata lewat torehan dan cetusan ide satu demi satu kata. hari ii ... hari kedua di tahun ini merupakan hari yang penuh dengan perenungan perenungan ecil di tengah semaraknya sosial media membuat hari hariku cukup berisik dengan gaya hidup gaya hidup orang lain sementara aku hanyut larut dalam euforia orang orang.. sungguh aku rindu kegiatan menulis yang telah sekian tahun memudar dalam kepribadian ini ... menulis meramu kemerdekaan lewat senjata literasi

Posted by
Dedi Andrianto Kurniawan

More
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Isi KepalaTemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.