Objection (penolakan)
Pertanyaan mengenai penolakan
dalam masyarakat Eropa sebagaimana dibedakan dari masyarakat Afrika
mengemukakan permasalahan tentang penolakan tersebut misalnya penggunaan bunga.
Sama halnya dengan gambar, lukisan dan teater, yang menjadi bagian dari kritik
Plato terhadap pemaknaan kebudayaan. Kritik tersebut merupakan poin referensi
untuk tradisi turun temurun dari sudut pandang alternatif tentang manifestasi
dimana pengamat kontemporer menemui kesulitan dalam memahami pentingnya
pengamat kalangan masyarakat lain gagal dalam memahaminya. Plato prihatin
terhadap mimesis dimana sebagai dampaknya Plato menyanggah bahwa hal tersebut
bukanlah perihal itu sendiri maupun yang dimaknainya. Bagaimana bisa? Yang saya
coba kemukakan adalah bahwa situasi manusia itu sendiri adalah tergantung dari
pemaknaan dan hal ini, baik secara linguistik, figuratif maupun teoretik tidak
akan bisa menjadi apa yang pada dasarnya diartikan.
Mimesis merupakan sebuah konsep
yang tidak tercakup dengan maksimal terutama oleh penulis penulis post-modern
karena dihubung hubungkan, secara mekanis, terhadap reproduksi budaya, ‘meniru’
dalam pandangan Tarde dan terutama pada repetisi bahasa atau pada gambar. Oleh
karena mimesis mewujudkan sebuah ideologi konservatif, menolak kreativitas.
Plato, di sisi lain, melihat mimesis sebagai tatanan subversif, misalnya ketika
orang meniru perilaku orang lain terutama aktor atau pemimpin. Aspek prinsip
dari mimesis yang menarik perhatian say disini adalah pemaknaan dalam seni di
dunia luar, terhadap eksistensinya sendiri, polemik ikonofobia, dalam prasangka
anti-teatrikal atau oleh sikap anti-novelistik. Dalam konteks ini, sesuatu
berganti melalui sebuah perantara berbeda, oleh karena itu kreativitas selalu
dilibatkan. Seperti mimesis, ide utama pemaknaan mendapatkan sedikit perhatian
dari Barthes sebagai sebuah instrumen penaklukan dalam tatanan simbol simbol,
sebuah pandangan yang patut diacungi jempol mengenai bagaimana tatanan simbolis
tersusun.
Kritik ini berhubungan dengan apa
yang oleh Prendergast sebut dengan status pemaknaan yang tidak pasti, sebuah
keadaan dimana secara permanen yang kita huni berhubungan dengan tatanan
mimetik. Ada masalah umum mengenai mimesis. Beberapa orang suka ditiru, kecuali
pada keadaan pembelajaran yang sangat spesifik. Namun imitasi tetaplah penting
bagi pembelajaran; jika bukan sebuah aktivitas manusia secara esklusif,
setidaknya yang terbatas pada antropoid, tidak ditemukan pada monyet. Tetapi
secara lebih relevan, mimesis merupakan sebuah bentuk pemaknaan; ia bukanlah
tindakan itu sendiri. Dari sudut pandang lain mungkin dilihat sebagai
ketidaklaziman.
Dalam diskusi ini mimesis
cenderung disamakan denga pemaknaan. Namun tendensi tersebut mungkin dapat
dilihat sebagai pembeda yang penting. Dari satu sisi mimesis berhubungan dengan
‘mime’ yang oleh bangsa Roma dan Yunani diartikan sebagai drama yang lucu,
dikarakterkan oleh mimikri dan pemaknaan konyol dari jenis jenis yang familiar.
Definisi definisi tersebut menunjukkan bahwa ada bentuk yang masuk akal dari
pemaknaan dan mime juga dilihat sebagai seni gestur, gerakan, dan lainnya
sebagaimana yang membedakannya dengan kata-kata. Mimesis terkadang juga
dipandang sebagai peniruan perilaku orang lain; oleh karena itu gestur maupun
cara bicara, namun tidak pada penulisan, disebut mimetik. Penulisan menempati
‘urutan ketiga’, dimana cara bicara dan gesture pada dasarnya sama, tidak
tercampuri. Akan tetapi dari sudut pandang lain, lisan maupun tertulis, mungkin
terkesampingkan dari mimesis karena jarang ditiru; kecuali onomatopoeia, ia
merupakan tanda. Pastinya, bahasa tertulis meniru alam hanya dengan cara tidak
langsung, dimana gstur, patung, bahkan meniru suara seseorang dilakukan dengan
cara langsung. Kata kata dapat mewakili lebih baik ketimbang mimik.
Keraguan yang sama mengenai
status pemaknaan muncul dalam filosofi ilmiah. Dalam mendiskusikan realisme dan
anti-realisme Ian Hacking mengatakan;
Dengan memperhatikan pengetahuan sebagai pemaknaan alam, kita tak tau
bagaimana kita bisa keluar dari pemaknaan dan memahami dunia. Hal tersebut
tertanam dalam idealisme. Di abad kita John Dewey secara berapi api mengenai
teori pengetahuan yang mengobsesi filosofi barat. Jika kita Cuma penonton dalam
teater kehidupan, bagaimana kita bisa tau yang nyata atau yang tidak nyata,
yang hanya diperankan oleh aktor maupun hal yang nyata?
Dalam hal ini sikap Hacking
terhadap pemaknaan adalah sangat jelas. Teori hanya memaknai belaka, ia
bukanlah hal yang nyata. Dalam tingkatan lain, apa yang dimaknakan dalam
sandiwara ada di dunia nyata. Akan tetapi ia betul betul memaknai hal yang
sebenarnya yang kemudian mengemukakan polemik kebenaran, yang salah ataupun
distorsi dari hal yang sebenarnya, polemik yang tidak hanya melibatkan hubungan
teori kebenaran.
Pemaknaan yang jelas merupakan
hal penting dalam komunikasi manusia. Oleh karenanya Hacking mencoba
mengkarakterkan manusia bukan sebagai homo
faber melainkan homo depictor.
“manusia adalah pemberi makna, orang orang menyukai segala sesuatu, mereka
membuat lukisan, meniru ayam berkotek, mencetak dari tanah liat, memahat
patung, dan menempa kuningan. Pemaknaan bukanlah ide internal dari kekaisaran
Perancis maupun Inggris, sebagaimana yang dipikirkan Kant dalam Vorstellung. Namun memang sebagaimana
diterangkan di atas, Hacking merujuk kepada objek fisik bahwa dia membayangkan
orang orang menyukai segala sesuatu sebelum mereka belajar berbicara. Memang
tidak banyak bukti yang memperkuat statemen tersebut kecuali bahwa adalah
mungkin bila seekor anjing, misalnya, memaknai sesuatu dalam mimpi, barangkali
melakukannya secara visual. Manusia awal peradaban menggunakan linguistik di
waktu bersamaan dalam pemaknaan gambar. Namun bahasa tentu saja jauh memperluas
kemampuan kita akan pemaknaan, contohnya Hacking melihat teori fisik sebagai
penyusunan yang kebenarannya belum mutlak melainkan rentetan pemaknaan
instruktif. Pluralitas pemaknaan membawa skeptisme, keraguan dan berhubungan
dengan penampilan dan realitas.
Skeptisme yang serius, menurut
Hacking adalah pemaknaan tak terelakkan seandainya atom atom dan ruang kosong
meliputi kenyataan, bagaimana kita bisa tahu? Inti keraguan selalu muncul
bahkan semenjak Democritus memformulasi atom sebagaimana yang dicatat oleh
Plato. Pertama, bagaimana kita menelisik versi tertentu dari impian Demokritus?
Kedua, adanya kekhawatiran bahwa yang demikian hanyalah angan-angan; bahwa
sejatinya tidak ada atom, tidak ada ruang kosong, hanyalah bebatuan. Ketiga,
adanya keraguan bahwa kisahnya tidak sepenuhnya benar, bagaimana kita bisa
menentukan pengetahuanmelainkan hanya kelalaian kontemplatif.
Hacking bertolak belakang dengan
pernyataan pernyataan yang kita sebut dengan yang tidak bermakna ini, misalnya
seperti ‘mesin ketik saya berada di atas meja’. Dalam hal tersebut kita bisa
mengatakan benar atau salah, dimana pemaknaan melibatkan keraguan. Namun
pernyataan seperti di atas tersebut adalah juga melibatkan pemaknaan (kata
‘mesin ketik’ mewakili sebuah mesin); ketika skeptisme dan keraguan terhadap
hal yang sama tidak dilibatkan, hal tersebut juga dapat menjadi pertanyaan
mengenai pemaknaan linguistik dan mengenai realitas kata. Saya sependapat bahwa
hal ini adalah merupakan tatanan yang berbeda dan juga sangatlah penting dimana
saya memulainya dengan mempertimbangkan pemaknaan piktorial (yaitu figuratif)
dan sebagian besar yang dibahas melibatkan dimensi visual. Akan tetapi saya
juga membahas mengenai satu aspek pemaknaan linguistik dalam mendiskusikan
mitos dan novel.
Pemaknaan figuratif merupakan
yang pada dasarnya oleh C.S. Pierce bedakan dalam tiga macam pemaknaan; yang
merupakan kausal atau metonimik (bagian dari keseluruhan) dan konvensional
(contohnya linguistik). Namu perbedaan demikian tidak membingungkan kita
terhadap persamaan dan kenyataan bahwa aktor itu sendiri bisa jadi berubah dari
mengobjeksi atau memerankan sesuatu untuk memperlakukan yang lain dengan cara
yang sama. Sementara Judaisme tidak melarang penggambaran figuratif dari dewa
dewa, kemudian beberapa orang berpendapat bahwa hal yang paling bernilai seni
dari menafsirkan gambaran antromorfik secara literatur adalah merupakan
pemujaan berhala itu sendiri. Tidak dijelaskan secara rinci dalam Injil apakah
Tuhan memiliki gambaran, melalui kritikan Maimonides yang menolak
kemungkinannya. Yang jelas bahwa segala upaya yang mencoba menghadirkan
pemaknaan figuratif atas gambaran verbal adalah dilarang. Hal tersebut dapat
mengakibatkan hilangnya keunikan; larangan tersebut tidak didasarkan pada
ketakutan akan substitusi (mengambil pemaknaan untuk yang dimaknakan) melainkan
hal tersebut bisa saja mengakibatkan pemaknaan yang keliru.
Dalam penyelidikan ini saya
tertarik terhadap jenis jenis pemaknaan tertentu, yaitu, ikon figuratif,
performa dramatis dan pusaka. Pada akhirnya saya memperluas diskusi pada mitos,
narasi (dalam sense fiksi). Saya menggunakan istilah istilah dalam bahasa yang
sederhana sebagaimana pemaknaan fisik baik dalam objek, atau tindakan.
Pemaknaan konsep atau ide, Platonik atau yang lainnya merupakan batasan dari
tema yang saya kemukakan.
Contoh mula dari dilema tersebut
datang dari dunia klasik. Penulisan mengenai pengaruh seni pada religi di dunia
klasik, Lane Fox tertarik melihat dalam era pahlawan epik, patung patung dan
lukisan lukisan merupakan pengaruh fundamental dimana dalam dunia ketuhanan
dibayangkan. Hal tersebut juga pasti menghadirkan keraguan, pertanyaan
pertanyaan dan kontroversi seperti halnya yang kita temui dalam karya Plato.
Jika kamu menggambarkan malaikat, hampir tak terelakkan bahwa orang lain akan
terdorong untuk memberikan pertimbangan lain terhadap pemaknaan ini, mungkin
lewat kritik, mungkin secara materi, mendorong mereka merefleksikan dalam ruang
fisik yang ditempatinya dan berapa banyak “malaikat sesungguhnya” muncul dalam
benak. Sebagaimana Lane Fox tuliskan bahwa ada hal konkrit dalam gesekan antara
hal tersebut dengan ketidakjelasan, ketidakstabilan dari objek yang
digambarkan, image verbal tanpa ikon.
Ada masalah khusus dalam banyak
kelompok atau masyarakat dalam memaknai gambaran Ilahi karena bagaimanapun juga
ia merupakan status immaterial; kualitasnya memperbesar kemungkinan terhadap
pengamatan akan perbedaan antara kehadiran dan ketiadaan, antara gambaran atau
perkataan dan rujukan. Dalam banyak masyarakat permasalahannya menjadi akut
bahwa Tuhan yang menciptakan semua hal dan Tuhan tidak diciptakan. Sementara
dalam banyak kasus keengganan untuk memaknai Sang Pencipta yang dalam benak
mereka menumpuk segudang keraguan mengenai proses pemaknaannya secara
keseluruhan, sekuler dan religius yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan.